24 March, 2006

LOW TRUST SOCIETY


LOW TRUST SOCIETY
Oleh: Rhenald Kasali


Saya baru saja memeriksa ujian mahasiswa saya. Ketika akan menyerahkan
nilai akhir Mereka, saya terpaksa menoleh kepada berita acara ujian yang
mencantumkan nama beserta tanda tangan mereka masing-masing. Astaga. Tak
Ada satu pun nama yang dapat saya kenali dari tanda tangannya. Hal ini
mengingatkan saya pada peristiwa unik yang saya alami hampir tujuh tahun
silam ketika baru saja memulai program doktoral saya di Amerika Serikat.

Baru tiba beberapa hari, adviser saya menyuruh saya membuka bank account
di bank mana saja di kota itu. Saya pun menurutinya. Maklum, tanpa punya
buku cek, hidup di Amerika akan terasa sulit. Hampir semua transaksi
dilakukan melalui pos. Bayar listrik, telepon, air,tagihan kartu
kredit, beli buku, bayar pajak, kena tiket lalu lintas (tilang), sampai
bayar uang sekolah. Semuanya menggunakan cek. Tanpa cek, hidup di
Amerika kok rasanya susah sekali.

Setelah punya bank account dan mulai berbelanja dengan menggunakan cek,
ternyata saya pun mengalami kesulitan. Pasalnya, petugas bank memanggil
saya karena mengalami kesulitan membaca tanda tangan saya. Saya mencoba
menjelaskannya bahwa itu benar tanda tangan milik saya, dan saya melakukannya kembali di depan petugas itu. Petugas tetap menolak dan mengatakan itu bukan tanda tangan. Kalau bukan tanda tangan lantas apa?
"Itu urek-urek!"ujarnya sambil tersenyum. Sejak itu saya pun mulai
berlatih membuat tanda tangan baru, yaitu tanda tangan yang namanya
mudah teridentifikasi. Maka, sejak saat itu saya mulai terbiasa memiliki
dua jenis tanda tangan. Saya menyebutnya satu tanda tangan lokal (yang
dikatakan urek-urek tadi) dan satu lagi tanda tangan Amerika. Kalau
Anda pernah hadir dalam seminar saya dan meminta saya menandatangani
buku saya yang Anda baru beli, Anda pasti ingat bahwa saya selalu mengatakan itu adalah tanda tangan Amerika: mudah dibaca dan diidentifikasi. Ada juga pembaca yang minta
dua-duanya, dan ada kalanya saya pun meluluskannya. Tanda tangan lokal itu biasanya hanya saya gunakan untuk urusan bank Dan menandatangani transkrip nilai mahasiswa.
Dalam salah satu seminar saya pernah meminta agar para peserta menggoreskan tanda tangannya di atas kertas dan meminta rekan di sebelahnya yang baru dikenalnya mengenali nama mereka. Ternyata tak banyak di antara mereka yang dapat mengenali nama
orang dari tanda tangannya. Ketika ditanya mengapa mereka membuat tanda
tangan seruwet itu, semuanya menjawab bak koor: "Biar tidak mudah
ditiru orang lain." Mengapa kita semua melakukan hal yang sama? Mudah
ditebak jawabnya.


Sejak kecil Kita telah diajari orang-orang tua dan guru-guru Kita agar
tidak mudah percaya pada orang lain. "Buatlah tanda tangan yang tidak
mudah ditiru agar jangan sampai dipalsukan orang lain." Kita menurutinya, dan tanpa kita sadari roh-roh ketidakpercayaan ini sudah melekat dalam pikiran kita. "Trust," kata Francis
Fukuyama, adalah "the social virtues and the creation of prosperity." Rasa
percaya adalah suatu ikatan sosial yang penting untuk menciptakankemakmuran. Kalau
tidak ada rasa percaya, mestinya tidak ada bisnis. Bagaimana mungkin
kita berbinsis dengan orang yang tidak Kita percaya?Rasa percaya itu
pula yang akan menentukan bangunan organisasi perusahaan saudara. Makin
rendah rasa percaya kita terhadap orang lain, makin banyak pula kita
melibatkan sanak saudara kita, teman sealmamater, sesuku dan sebagainya
terlibat dalam bisnis kita. Kita makin menutup pintu bagi orang lain. Dan akibatnya potensi kita untuk menjadi besar akan terhambat.

Pengalaman lainnya yang saya dapatkan di Amerika barangkali dapat
menjelaskan betapa berbedanya tingkat rasa percaya. Menjelang pulang ke
tanah air, setelah menyelesaikan program studi, saya pun melakukan
moving sale melego barang-barang yang nilai bukunya masih cukup tinggi.
Misalnya saja Ada sebuah dish washer (mesin pencuci piring) elektrik
yang usianya baru tiga tahun Dan nilainya masih cukup tinggi namun harus
dilepas dengan harga yang sangat murah. Pembelinya tentu saja masyarakat
komunitas tempat tinggal kami, yang umumnya adalah keluarga muda atau
para mahasiswa asing yang dari mancanegara. Kalau calon pembelinya
datang dari negara-negara seperti Rusia, Yugoslavia, Ceko, Turki,
Portugal, Brazil, Irak, Pakistan, India, atau negara-negara Afrika,
biasanya transaksi berjalan tersendat-sendat. Mereka umumnya tidak
percaya terhadap kualitas mesin (apakah masih tetap baik) dan harga yang
ditawarkan. Mereka mengutak-atik mesin, menghabiskan waktu berjam-jam,
mengajukan pertanyaan, lalu menawar di bawah separo dari harga yang
ditawarkan. Prosesnya sama seperti Anda menawar harga sepasang sepatu
di pasar Senen atau pasar lainnya di Indonesia. Dan akhirnya pun dapat
diterka: tidak ada transaksi. Hal yang berbeda dialami kalau pembelinya
berasal dari negara-negara yang barangkali dapat kita sebut sebagai high
trust society, seperti Amerika, Inggris, Finlandia, bahkan Jepang yang
rata-rata sudah lebih makmur hidupnya. Mereka cuma bertanya tiga hal:
mengapa dijual, apakah ada kerusakan, dan berapa harganya. Kalau mereka
suka, mereka tidak menawar, langsung angkat. Dalam kepala mereka, kalau
barang ini rusak maka mereka akan kembalikan segera. Mereka percaya
bahwa orang lain dapat dipercaya, dan kalau mereka menipu mereka akan
ditangkap polisi, diadili, dan dijatuhi hukuman.

Pembaca, apakah implikasi melakukan kegiatan bisnis di sebuah low trust
society? Mudah-mudahan Saudara sudah dapat menangkapnya: jangan langsung
melakukan transaksi. Selalu mulailah dengan membangun rasa percaya dari
lawan-lawan bisnis Anda. Jangan sesekali melakukan penawaran kalau lawan
bisnis Anda di sini belum mengenal betul Anda. Kalau ada jalan pintas
yang dapat ditawarkan, barangkali cuma satu ini: carilah jembatan
melalui orang-orang yang sudah dikenal dan dipercaya oleh lawan bisnis
Anda. Tanpa itu, Anda cuma melakukan upaya sia-sia. Saya merindukan,
kelak anak-anak kita akan membuat tanda tangan yang namanya dapat dibaca
oleh orang lain.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home